Selasa, 20 Mei 2014

Apel, berpikir dan Pemilu Indonesia 2014 yang berbalur jas Putih

'.. yang jatuh cuma apel, seperti biasa, tapi karena yang lagi deket apel Sir Newton yang rajin mikir, tertulislah hukum Newton, karena pada dasarnya hukum itu sudah ada dan terus berlaku sejak adanya dunia.."

itu kalimat sahabat.

Konflik Pendidikan Kedokteran Indonesia di tahun 2014, bertemakan Exit exam dan legalitas, perselisihan  antara Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

saya hanya melihat dari kacamata external, tapi saya juga mendapatkan banyak informasi yang benar.
konflik ini bercerita tentang ilegal-nya Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang selama ini diadakan oleh AIPKI. setau saya IDI mengatakan ini ilegal karena tidak sesuai dengan undang-undang(saya lupa).
Kali ini, saya tidak akan bercerita banyak tentang konflik ini, saya yakin banyak yang lebih kompeten untuk menjelaskan fakta konflik ini.

Yang ingin saya jabarkan disini adalah apa benang merah kejadian ini dengan kekinian Indonesia.
seperti kata sahabat saya diatas, gara-gara newton yang duduk di pohon apel dan apelnya jatuh, tertulislah hukum newton. Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini bukan, karena kita semua yang tinggal di Indonesia dan mengaku bangsa Indonesia pasti memiliki agama atau aliran kepercayaan yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa. Seperti Newton, momen mungkin terjadi setiap saat, hanya saja, apakah orang-orang yang berada disekitar momen memikirkannya?, itu kuncinya.

momen selalu berkaitan dengan waktu, dan himpunan semesta dari momen dan waktu adalah peristiwa. momen tidak sama dengan waktu, karena diwaktu yang sama, mungkin hanya tercipta satu momen pada satu kondisi, dan orang lain bisa melihat banyak momen pada waktu yang bersamaan.

Apa yang hangat di 2014?, pemilu.
semua mahasiswa kedokteran dan dokter tau, yang bikin peraturan itu pemerintah dan DPR serta DPRD, dan satu-satunya cara itu memasukkan orang-orang berkualitas dalam lembaga tersebut hanyalah lewat pemilu yang diadakan 5 tahun sekali.

Selama saya berprofesi sebagai mahasiswa kedokteran ataupun saat ini sudah menjadi dokter, banyak saya temui dokter-dokter yang tidak peduli politik dan segala aplikasinya. 
maka jangan salahkan DPR dan DPRD serta pemerintah RI yang akan datang bila peraturan terbit adalah perturan yang menyusahkan dokter(mulai dari mahasiswa sampai profesornya), karena kita tak peduli politik dengan segala aplikasinya.

Lugu bukan, bila kita berteriak marah kepada sesuatu hal yang pada dasarnya dapat kita tentukan dengan tangan kita sendiri.
Berhak-kah kita untuk marah? jelas kita berhak, karena ini negara demokrasi,
tetapi ketika kita menggunakan hak marah itu, kita hanya akan ditertawakan dan di cap karena karakternya seperti anak kecil,
"tak bisa menentukan jalan nasib sendiri"

Tidak kah para cendikiawan berjas putih belajar akan momentum ini?
masih relakah kita untuk tidak menggunakan hak pilih kita dalam pemilu untuk kedepannya?

kalo jawaban pertama dijawab dengan kata "tidak" dan pertanyaan kedua dijawab dengan kata "ya", maka mungkin perlu seleksi tambahan dalam penerimaan calon dokter di Indonesia, karena saya pribadi sebagai dokter, tidak begitu rela menerima murid yang tak mau meikirkan masa depan diri dan sejawatnya,

"untuk apa menerima mereka yang merusak masa depan?"
betul bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar