Jumat, 28 Februari 2014

Pribadi, Produk dan Negara.

" Me-262, pesawat tempur ber-tenaga Jet PERTAMA di dunia, di temukan oleh ilmuwan Jerman, di akhir skenario perang dunia II


"abah, nasionalisme itu apa ya bah ?...., bagi abah, nasionalisme itu adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah, bahwa kita hidup di Indonesia, dan rasa syukur itu kita wujudkan dengan merawat dan menjaganya..."
----Situ Lembang 2009, ketika waktu dhuha, di sebuah lapangan dalam hutan----

pertanyaan itu saya lontarkan, setelah kurang lebih setahun saya penasaran dengan makna nasionalisme, buku dan pertanyaan ternyata butuh waktu satu tahun sampai ada kepuasan dan keyakinan bahwa itu jawaban yang dicari.

Indonesia harus menjadi sebuah negara yang Besar dan kuat,
besar karena manfaat tanpa memperhatikan sekat teritorial,
Kuat, karena berpedoman pada nilai kemanusiaan, bahasa gampangnya "manusiawi".

Sejarah pasti berulang, hanya saja berbeda kualitas ilmu dan penerapan (berdasar sebuah buku, dengan sedikit editan)...kejadiannya berputar sekitar hal-hal yang sama. Mungkin, itu salah satu hikmah kenapa Al-quran berisi banyak kisah. hal dasar yang harus dipelajari adalah sejarah, agar tau mengarah-kan perjalanan.

belajar dari sejarah,
Amerika Serikat sebagai negara adidaya,
ternyata berawal dari pribadi-pribadi yang membesarkan negara,
Ford dengan mobilnya,
Rockfeller dengan minyaknya,
Boeing dengan pesawatnya,
Gates dengan Microsoftnya
Jobs dengan Apple-nya
dan lain-lain

Jerman, siapa yang meragukan kualitas teknologinya ?
Dunia mengenal Jepang melalui Yamaha, Honda, Suzuki, Mitsubishi.
Samsung, mengenalkan Korea Selatan pada dunia.
ooo ya, tak ketinggalan pula;
Taylor Swift, Bruno Mars, Christina Aguilera(kalo ga salah gini nulisnya) tak mau ketinggalan memperkenalkan ke-unggulan Amerika kepada dunia.
dan K-pop tentunya, dari korea menuju dunia..hehe.

Amerika tetap punya utang negara,
tapi tetap bisa besar,
Amerika menjadi adidaya bukan karena pasukannya,
tapi produknya mengontrol dunia,

mungkin kuncinya ada di produk,
banyak pemikir hebat di dunia,
tapi hanya sedikit yang bisa memproduksinya sampai tingkat mendunia,
Produk tak harus jadi sebuah materi,
bisa saja sebuah sistem atau gagasan yang diterima dunia, dan di aplikasikan.

pribadi-pribadi yang ber-inisiasi membesarkan negara, selanjutnya negara akan saling tarik dengan pribadi-pribadi  ini untuk membesarkan.

Jadi, apa Produk kita ?
mungkin baru terjawab 10,20,30 atau beberapa puluh tahun lagi,
tapi harus bercita-cita bahwa, kita hidup harus meninggalkan produk.
Untuk Allah, melalui negara kepada semua manusia.
yaaah minimal kita seharusnya bisa ninggalin anak shaleh dan atau shalehah... amin ,hehe.




Rabu, 26 Februari 2014

mengerti, ini tantangan pribadi.

Jika semua orang cenderung minta dimengerti,
hal itu mungkin seperti meminta penguin hidup di gurun pasir.
bisa, tapi perlu pemahaman yang sama dari berbagai pihak,
butuh pelatihan yang tidak sebentar.

setiap yang minta dimengerti,
membutuhkan yang bisa mengerti, itu seperti gaya aksi-reaksi.

menjadi yang minta dimengerti gampang, cukup segelas ke-egoisan tanpa cermin di depan dan belakang,
menjadi yang mengerti, mungkin perlu pergi melihat lautan, tepatnya ke pinggir pantai,
tempat dimana lautan selalu menepis berbagai sampah kotoran,
dan lautan selalu memastikan, setiap saat daerah tengah terlihat menawan.
dan lautan hanya sesekali protes, tapi dalam wujud gelombang.

titik paling bingung adalah, "kapan saatnya mengeluarkan gelombang ?"
entahlah, mungkin disaat semua sudah tidak mengerti.
kapan kita bisa menentukan "semua orang tidak mengerti", karena keputusan seperti itu bisa saja merupakan sebuah ketidak mengertian kita terhadap sekitar.
Tidak ada akhirnya, seperti gaya aksi-reaksi.

mungkin hanya beberapa hal yang bisa meredam: prasangka baik, memaafkan, dan selalu berusaha tersenyum.
seperti kisah seseorang di jaman Rasulullah Saw. ia dikatakan masuk surga, ketika ditanyakan oleh sahabat lainnya, ternyata ia selalu memaafkan ketika sebelum mengakhiri harinya.

selalu berusaha tersenyum, semoga itu merangsang prasangka baik, begitu juga sebaliknya.

astaghfirullahaladzim...


Minggu, 23 Februari 2014

kata, hati-hati dan gunung



Rindu gunung,
karena diamnya saja menunjukkan banyak hal,
mungkin karena ia tak pernah berpikir untuk meminta,
karena ia selalu mencukupi kebutuhannya sendiri, tentu saja rezekinya tetap pemberian dari Allah.

Rindu gunung,
"bicara"-nya adalah peringatan,
peringatan yang membuat kita berpikir; "Ya Allah, dosa apa yang telah kami lakukan bersama",
bukan bicara sia-sia yang menyakiti tanpa alasan.
bahkan setelah gunung "berbicara", katanya menjadi anugrah,
anugrah yang mencetak pulau dan menumbuhkan pepohonan.

Teman,
belajarlah dari gunung, yang berbicara selalu dengan pertimbangan dan pemberian,
tak sekedar bicara yang meninggalkan kepedihan.

Sungguh, rindu gunung.





Rabu, 12 Februari 2014

Repost # Tidak Selalu


Waktu tak selalu bisa mendewasakan seseorang. Tidak selalu waktu menjawab semua pertanyaan. Banyak hal yang tidak bisa dijawab oleh waktu. Meski usia telah menua, tidak selamanya tindakan menjadi bijaksana. Meski banyak hal terlewati, tidak selamanya bisa belajar dari sana. Kemudian memahami. 

Bicara tak selalu bisa menyentuh jiwa. Tidak selalu bicara bisa menawar segala tanya. Kadang diam jauh lebih bisa memberikan jawaban. Diam adalah salah satu bentuk bicara kan? 

Kesalahan tak selalu membuat orang menjadi lebih baik. Tidak mengulangi hal yang sama berulang kali. Belajar kemudian memperbaiki diri. Meski berkali-kali dinasehati, ia seperti tidak mendengar apapun, tidak belajar apapun.

Malam tak selalu bisa membuat orang tidur tenang. Takut oleh gelap malam, takut oleh kenangan. Habis malam hingga pagi hanya untuk memikirkan diri sendiri. Sibuk berasumsi, berusaha menghubungkan segala hal untuk membenarkan kesalahannya, membenarkan harapannya, membenarkan perasaannya.

dikutip dari : http://kurniawangunadi.tumblr.com/tagged/cerpen, dengan penghapusan satu paragraf,

Minggu, 09 Februari 2014

kata, niat dan kesombongan

hari itu, bunyi dentingan besi yang menangkis besi tersebar dimana-mana,
kelihaian sesorang dalam mengayunkan dan menghindar, mempengaruhi jalannya pertempuran.

satu momen dalam medan pertempuran, seorang sahabat Rasulullah Saw. dapat mengalahkan musuh dan membuat seorang itu tersudut, musuh itu pun dengan segera menyatakan masuk islam. tapi sahabat Rasulullah Saw. tetap membunuh musuh tersebut.

pertempuran-pun telah selesai, cerita tentang kemenangan dan harta rampasan mungkin telah sampai duluan,
tapi di balik hingar bingar itu, kisah tentang kisah sahabat di atas tak luput dari perhatian Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw pun bertanya kepada sahabat mengenai alasan mengapa ia tetap membunuh musuh, padahal ia telah menyatakan islam. Sahabat tersebut pun memberikan alasan bahwa ia hanya menduga bahwa sang musuh menyatakan masuk islam hanya karena ketakutan dan telah terpojok. Rasulullah Saw. pun kecewa dan menyatakan satu hal yang intinya tentang apakah sahabat tersebut bisa membaca niatan seseorang.

saya lupa detail kejadian ini, terjadi di perang apa, nama sahabatnya siapa..tapi, insyaallah ini berasal dari sumber buku Sirah nabawiyah karangan Syeikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri.

saya belum menjadi seorang ahli tafsir, tapi setidaknya berusaha memikirkan hikmah boleh lah.

Praduga, sering kali muncul dalam setiap manusia. Wajar saja itu muncul, karena ya itu karunia dan sifat yang udah allah ciptakan. Praduga, menjadi tidak wajar, ketika kita tanpa pikir panjang menyampaikannya kepada khalayak luas, tanpa memikirkan efeknya, tanpa memikirkan pembuktiannya, mungkin secara sederhana itu disebut fitnah.

Mari sejenak kita kembali melihat kisah sahabat di atas dan kembali membuka surat Al-baqarah 34 dan surat al-a'raf :12, ketika Allah memerintahkan malaikat sujud kepada adam, malaikat menurut, hanya satu yang membangkang; iblis. Iblis merasa lebih tinggi karena diciptakan dari api. Kesombongan lah yang membuat mereka dinyatakan allah sebagai kafir , dihina Allah dan berakhir di neraka.

dari beberapa cerita diatas, ada satu benang merah yang mungkin hanya hasil perenungan sementara saya,
saatnya kita sama-sama meng-evaluasi diri, sebelum melakukan fitnah dan menyatakannya, bukankah itu seolah-olah kita bisa membaca niat dalam hati-hati manusia, padahal Rasulullah saw. pun tak pernah bisa.
mungkinkah, secara tidak sadar kita melangkahi kewenangan  Allah ? , siapa yang tahu.